Siapa yang tidak pernah membaca,
melantunkan, bahkan mendengar cuplikan sajak yang berjudul “aku”.
Tentunya, paling tidak kita pernah mendengar, secuplik kata demi kata,
bait demi bait puisi yang di buat oleh seorang bertangan dingin ini.
Mungkin juga sempat terlintas walaupun sekelebat mengenai karya-karya
penyair yang terkenal dengan krawang bekasinya. Ya, itu merupakan salah
satu dari karya besar Chairil Anwar. Kalimat-kalimatnya mengalir begitu
saja, keluar dari goresan-goresan tinta yang dalam, penuh semangat,
tetapi juga sebuah refleksi dalam diri.
Chairil Anwar lahir di Medan, 22 juli
1922. Tulus adalah nama ayahnya dan saleha ibunya. Mereka berasal dari
payakumbuh, sumatera barat. Chairil lahir dalam perantauan kedua
orangtuanya ke medan. Dia bersekolah di HIS, Medan. HIS merupakan
sekolah dasar pada zaman belanda. Kemudian dia melanjutkan ke SMP, yang
ada pada Zaman penjajah dulu di sebut MULO. Di sekolah menengah ini dia
hanya duduk di kelas pendahuluan (Voorklaas) dan kelas satu,
kemudian ia pindah ke jakarta pada tahun 1941, ketika berumur 19 tahun.
Dia tidak tamat MULO karena kesulitan ekonomi.
Chairil adalah seseorang yang penuh
vitalitas. Ia gemar membaca puisi di luar kepala di depan
sahabat-sahabatnya, yang terheran-heran mendengarnya. Sebagai penyair
yang cerdas, Chairil memiliki kepribadian dengan
individualisme yang kuat. Pendiriannya tegar, cara berpakaiannya pun
rapi dan necis. Jadi, Chairil bukan tipe seniman yang berpakaian
seenaknya seperti banyak di duga orang.
Pergaulannya luas, dari golongan tingkat
bawah sampai tingkat teratas seperti mantan pemimpin RI yang pertama,
Soekarno-Hatta. Di kalangan seniman dia bergaul dengan para penyair,
penyanyi,pelukis, dramawan/dramawati, dan sebagainya. Dalam lingkaran
pergaulan seniman dan budayawan jakarta, Chairil mulai dikenal ketika
berusia 21 tahun, pada tahun 1943. Chairil juga bergaul dengan seniman
budayawan bentukan tentara jepang (kheimin Bunka Shidoso).
Sejak kecil Chairil suka membaca buku,
ketika masih SD dia suka membaca buku sastra yang di baca oleh siswa
SMA, bahkan orang dewasa. Penguasaan bahasa asingnya juga, di samping
bahasa belanda, bertambah lagi dengan bahasa inggris dan jerman. Dengan
tiga bahasa asing ini, jendela sastra dunia terbuaka lebar bagi Chairil.
Sajaknya yang termashur merupakan
gambaran hidupnya yang membesit-besit dan individualistis. Hal tersebut
tertuang dalam salah satu puisinya yang terkenal dengan judul “Aku”.
Semula puisi ini di beri judul “semangat”.puisi ini terkenal karena
Chairil mengemukakan konsep hidupnya yang berpusat pada individu yang
tegar sampai dirinya menamakan sebagai “Binatag jalang”. Sejak saat itu
namanya segera menjadi terkenal.
Telah banyak yang dilakukan oleh Chairil
di Khazanah sastra Indonesia. Namun sayang, sewaktu ia masih hidup
timbul kehebohan dalam majalah mimbar Indonesia bahwa Chairil
melakukan plagiat. Diberitakan bahwa sajaknya yang berjudul “Datang Dara
Hilang Dara” merupakan hasil palgiat dari sajak Hsu Chih Mo yang
berjudul “A song of the sea”. Tidak hanya itu saja yang ia contoh,
tetapi juga banyak sajak-sajak lain seperti “karawang-Bekasi” yang
diambil dari sajak Archibald MacLeish yang berjudul “ The young dead
soldiers”. Demikian juga dengan sajaknya “ kepada peminta-minta”,
“Rumahku”, dan lain-lain. Peristiwa itu sangat mengejutkan dunia sastra
Indonesia sehingga timbul polemik antara yang menyerang dan
mempertahankan Chairil.
Pembelaan kawan-kawan terdekat Chairil
seperti H.B. Jassin, Asrul Sani, dan yang lainnya tidak dapat menutupi
kenyataan perbuatan plagiat yang dilakukan oleh Chairil. S.M. Ardan
dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa lebih baik menyelidiki dan
di akui plagiat-plagiat yang dilakukan oleh Chairil itu, bukan di bantah
atau di bela. Namun orang-orang pun tidak dapat membantah peranan dan
jasa besar Chairil dalam sejarah sastra Indonesia.
Pada tahun 1948, suami dari Hapsah ini
menerbitkan sekaligus memimpin redaksi majalah gema suasana. Namun hal
itu tidak bertahan lama. Dan pada tanggal 28 April 1949 ia berpulang ke
rahmatullah. Ia meninggal karena Typhus dan penyakit lainnya di rumah
sakit umum pusat Jakarta. Chairil di makamkan di pemakaman karet
Jakarta.
Setelah Chairil meninggal, barulah
sajak-sajaknya di terbitkan sebagai buku. Diantaranya “kerikil tajam dan
yang terempas dan yang putus” (kumpulan puisi, 1949), “Deru Campur
Debu” (kumpulan puisi, 1949) dan “Tiga menguak takdir” (kumpulan puisi
bersama Asrul Sani dan Rival Apin, 1950). Dan karya-karya yang termuat
dalam ketiga buku tersebut di terbitkan dalam Chairil Anwar Pelopor
Angkatan ’45 (1956).
Sajak-sajak nya sudah di terjemahkan
dalam beberapa bahasa di dunia. Telah terbit sebuah buku yang memuat
tulisan tentang Chairil Anwar yang di sertai dengan 35 terjemahan
sajaknya. Buku itu berjudul seleted Poems (of) Chairil Anwar. Buku
tersebut di terbitkan sebagai salah satu nomor dari The world Poets
series (seri penyair Dunia). Hal tersebut atas usaha Burton Rafael dan
kawan-kawannya.
Selain menulis sajak dan prosa, ayah
dari Evawani Alissa ini banyak pula menerjemahkan sajak-sajak dan prosa
asing. Antara lain sajak-sajak penyair belanda Eduar’du perron dan
multatuli, penyair jerman Rainer Maria Rilke, penyair Amerika John Corn
Ford. Dan Prosa buah tangan pengarang perancis Andre Gide yang berjudul Pulanglah
Dia Si Anak Hilang Dari le Retour de l’enfant prodigue.
Dari Berbagai sumber
Aku adalah sebuah puisi karya Chairil
Anwar, karya ini mungkin adalah karyanya yang paling terkenal dan
juga salah satu puisi paling terkemuka dari Angkatan '45. Aku memiliki tema
pemberontakan dari segala bentuk penindasan. Penulisnya ingin "hidup
seribu tahun lagi", namun ia menyadari keterbatasan usianya, dan kalau
ajalnya tiba, ia tidak ingin seorangpun untuk meratapinya.
Syair:
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943